Senin, 22 Desember 2008

ADVOKASI KASUS PERAMPASAN TANAH RAKYAT TAPTENG

ADVOKASI KASUS PERAMPASAN TANAH RAKYAT TAPTENG
Sebuah Catatan

Oleh : Tulus Chandra Putra Simanungkalit

Pengantar

Konflik-konflik agraria dewasa ini kembali merebak akibat dari buah ketidakpastian penegakan hak-hak asasi masyarakat, yakni yang menyangkut hak ekosob (ekonomi, sosial& budaya) dalam hal ini hak atas kepemilikan tanah. Padahal jauh sebelumnya negara sudah dituntut untuk menegakan landreform atau reforma agraria sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. dalam konteks Sumatera Utara jika ditelisik lebih jauh akan dihadapkan pada persoalan besar yakni konflik-konflik agraria yang biasanya melibatkan kaum tani dihadapkan dengan perusahaan swasta, PTPN, dengan pengerahan atau penggunaan kekuatan militer&paramiliter.
Munculnya kekuatan sipil kontra dengan perjuangan masyarakat ini, bertujuan melindungi kepentingan pengusaha, pemerintah, individu ataupun korporasi cukup ampuh dalam mematikan setiap gerakan perjuangan agraria.
Tiap-tiap kasus agraria hanya akan ditanggapi oleh pemerintah setelah terjadinya benturan (clash) antara kelompok masyarakat yang bertikai dengan pihak-pihak yang diklaim sebagai perampas tanah rakyat. Tampaknya pemerintah lebih suka & terbuka matanya ketika perjuangan agraria yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun harus menelan korban ; kebanyakan biasanya korban yang jatuh dari pihak masyarakat sendiri. Hal ini terbukti dengan contoh konflik masyarakat Pasuruan yang bentrok dengan marinir, dan menjadi kasus skala nasional namun hingga kini tak jelas kemana arah penyelesaiannya. Maka kasus-kasus agraria yang terjadi di tingkatan lokal akan mengalami hal yang sama, sudah pasti kasus-kasus ini akan sulit dituntaskan.

Pengalaman & Catatan Kecil Dalam Advokasi Tanah Masyarakat Tapanuli Tengah

Kasus serupa kembali terulang di 6 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah diantaranya : Sosor Gadong, Sorkam Barat, Pinang Sori, Andam Dewi, Barus, Manduamas. Namun tidak seheboh seperti di Pasuruan. Kali ini masyarakat lagi-lagi dihadapkan dengan pihak swasta yang dibeck-up oleh aparatur pemerintah yaitu PT Nauli Sawit yang telah menyerobot tanah masyarakat seluas 6000 Ha. Ibarat kata pepatah perjuangan akan melahirkan konsekuensi pahit. Hal inilah tampaknya yang dialami oleh tokoh Forum Pembela Tanah Rakyat Tapteng (FPTRT) saudara Edianto Simatupang yang harus menikmati beberapa pengalaman pahit seperti kehilangan pekerjaan sebagai jurnalis di salah satu media cetak Sumatera Utara yang ‘terkesan’ membela kepentingan perusahaan PT Nauli Sawit------- yang justru oleh masyarakat Tapteng dituduh sebagai perusahaan perampas tanah rakyat.

Tak sampai disitu saja saudara Edianto Simatupang juga harus kehilangan rumah orang tuanya di Kecamatan Barus-Tapteng yang telah dibakar oleh Orang Tak Dikenal (OTK) yang menurut dugaan adalah ‘orang-orang bayaran’ PT Nauli Sawit. Ternyata hal ini tidak berhenti disitu saja…. Ketika Forum Pembela Tanah Rakyat Tapteng (FPTRT) menyampaikan aspirasi mereka ke kantor Gubernur Sumatera Utara dikacaukan oleh sekelompok pemuda yang berasal dari salah satu OKP di Sumatera Utara, alhasil nasib naas kembali menimpa Edianto Simatupang & ia sendiri pun mengalami penikaman saudar tepat di halaman kantor Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara. Memang suatu hal yang amat ironi ditengah suasana reformasi dan keseriusan aparat Kepolisiaan Sumut dalam memberantas aksi-aksi premanisme.
Dalam keterlibatan saya selama terjun dalam upaya membantu perjuangan masyarakat Tapteng maka muncul penilaian bahwasanya penindasan & represifitas justru bergeser dan tumbuh subur di daerah-daerah, hal ini dapat dikatakan sebagai dampak negatif dari Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan besar atau bahkan teramat besar bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan kewenangannya. Tak sedikit implementasi Otda harus berbenturan dengan kepentingan masyarakat kecil. Penyerobotan tanah masyarakat di 6 kecamatan Tapteng seluas 6000 Ha oleh PT Nauli Sawit dan hingga kini belum ada penyelesaiannya sama sekali. Respon dari pihak-pihak yang diharapkan malah tidak ada sama sekali.
Pengalaman selama membantu terciptanya forum diskusi yang diadakan di Aula Gereja di Sipea-pea untuk menyadarkan masyarakat agar berani menuntut hak-hak mereka atas tanah yang telah diserobot oleh PT Nauli Sawit yang juga melibatkan Pemkab Tapteng Dari diskusi ini mulai muncul keberanian masyarakat dan rasa percaya diri mereka akan keharusan sebuah perjuangan, berangkat dari diskusi ini maka masyarakat sudah tidak lagi memandang demonstrasi adalah sebuah hal yang ‘sesat’. Aksi-aksi perebutan lahan (reclaiming) juga pernah dilancarkan masyarakat di kecamatan Sorkam Barat berupa upaya pencabutan tanaman PT Nauli Sawit yang ditanam di atas lahan masyarakat sendiri. Kesadaran masyarakat semakin meningkat ketika mendengar pembakaran rumah Edianto Simatupang, secara spontan masyarakat tanpa dikomandoi oleh siapapun menyerang kantor PT Nauli Sawit, melakukan pembakaran fasilitas PT Nauli Sawit seperti kantor, traktor, dan alat-alat lainnya.

Bersama-sama dengan pihak Keuskupan Sibolga yang difasilitasi oleh Pastor Rantinus Manalu maka saya juga ikut serta dalam menggerakan masyarakat Tapteng untuk berdemonstrasi ke kantor Pemkab Tapteng & DPRD Tapteng. Namun aspirasi kami tidak ditanggapi baik oleh kedua pihak ini. Dalam keterlibatan selanjutnya bersama dengan masyarakat Tapteng digelarlah forum bersama dan menghasilkan keputusan untuk melakukan aksi demo & menginap di kantor Pemkab Tapteng selama 3 hari 3 malam. Aksi pun dilancarkan memberikan sedikit harapan dimana aspirasi masyarakat ditanggapi oleh perwakilan pihak Pemkab Tapteng dan berjanji untuk menuntaskan persoalan tanah ini.

Melihat lambannya respon dari Pekab Tapteng maka diputuskan untuk menyampaikan persoalan ini ke DPRD Sumut, Pemprop SU, BPN Sumut untuk mempropagandakan telah terjadinya perampasan tanah rakyat di Tapteng. Dan bersama FPTRT, elemen mahasiswa dan ormas di Sumut berhasil membidani lahirnya wadah bersama yakni Front Perjuangan Rakyat Sumatera Utara (FPRSU) yang dikoordinatori oleh saya sendiri. Wadah ini disepakati sebagai motor perjuangan advokasi bersama kasus-kasus agraria di tingkatan Sumut, namun mengingat banyaknya kasus-kasus agaria di Sumut maka forum ini untuk sementara difokuskan pada kasus tanah di Tapteng VS Pemkab Tapteng/PT Nauli Sawit dan kasus tanah Asahan VS PT Socfindo.

Namun perjuangan tidak selalu mulus, ketika FPTRT dan bersama elemen pro demokrasi menyampaikan aspirasi di kantor Gubsu harus dikotori dengan tindakan sekelompok OKP terhadap aktivis FPTRT yang sudah dijelaskan diatas berupa penikaman yang dialami saudara Edianto Simatupang. Akibat hal ini masyarakat Sumut dikejutkan dengan tindakan premanisme yang terjadi di kantor Pemerintahan Sumatera Utara, kasus tanah Tapteng ini pun kembali mendapat perhatian dari kalangan legislatif di Sumatera Utara.
Pada tanggal 08 Oktober 2008 Komisi-A DPRD Sumut menjatuhkan surat pemanggilan untuk menghadiri dengar pendapat (hearing public) terhadap Pemkab Tapteng, BPN Sumut, Kapoldasu, dan delegasi masyarakat Tapteng yang tergabung dalam FPTRT.

Hal ini juga tidak memberikan hasil mengingat sidang ini tidak dihadiri langsung oleh Bupati Tapteng Tuani Lumban Tobing yang dianggap memiliki keterlibatan besar dalam konflik tanah tersebut. Dan sidang ini juga tidak serta merta menghasilkan solusi konkret bagi masyarakat Tapteng. SidAng ini harus ditunda oleh DPRDSU karena tidak efektifnya agenda ini dimana tidak terwakili oleh salah satu pihak yang bertikai. DPRDSU merencanakan siding lanjutan dalam waktu secepatnya dengan syarat-syarat mutlak diantaranya menghadirkan Bupati Tapteng Tuani Lumban Tobing secara legal atau paksa dan pihak Pemprop SU serta pihak BPN Sumut agar dihasilkan solusi terbaik bagi semua pihak.

Beranjak dari hal ini, maka rakyat lagi-lagi harus berada dalam posisi yang bingung. Ternyata perjuangan harus membutuhkan kesabaran yang revolusioner. Dalam kasus-kasus agraria perjuangan masyarakat tidak selalu mulus karena harus berhadapan dengan musuh-musuh perjuangan seperti pengusaha, , pemerintah daerah, dimana pihak-pihak ini mampu membiayai kelompok atau lembaga manapun seperti preman, tentara, dll yang digunakan sebagai kelompok tandingan yang sengaja dibenturkan dengan masyarakat di lapangan. Ini tentu saja dapat melemahkan perjuangan massa rakyat. Kelompok-kelompok ini mampu membiayai pengadilan sehingga keputusan hukum yang dihasilkan berpihak kepada kepentingan mereka.

Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan dalam hal ini mengingat lemahnya pengawasan (kontrol sosial ) terhadap pemerintah daerah manakala hal-hal yang dapat memarginalkan masyarakat kecil terjadi. Kondisi negara sekarang ini sangat disorientasi terhadap persoalan agraria padahal selain masalah pokoknya yakni perebutan atas tanah juga kerap terjadi praktek-pelanggaran pelanggaran HAM baik sipol maupun ekosob.

* KOMISARIS GMNI FISIP USU MEDAN 2004-2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar